FATE chapter 1 : Reunion

Begitu membuka mata, yang kulihat adalah putih. Putih. Putih dimana-mana. Langit-langit putih rumah sakit. Selimut, tempat tidur, dan piyama putih dari rumah sakit. Lalu diluar jendela, putih salju yang tebal dan menumpuk, tapi terlihat begitu indah di mataku.

Saat itu juga, keadaan menjadi ribut. Dokter dan suster yang berdiri di sisi kiri tempat tidurku menghela napas lega kemudian tersenyum. Ibu dan kakak perempuanku langsung memelukku dan menangis. Sementara Ayah dan kakak lelakiku tersenyum sambil menyeka tetes air matanya.

Sebenarnya… sedang apa aku disini?

Setelah melihatku yang terus bengong dan linglung, dokter segera menjelaskan padaku, bahwa seminggu yang lalu aku jadi korban tabrak lari. Dan selama seminggu itu, aku terbaring koma di rumah sakit ini. Keluargaku panik, teman-temanku khawatir. Setiap hari mereka datang mengunjungiku.

Oh ya, kata dokter, nampaknya aku kehilangan seperempat ingatanku. Ingatanku selama sebulan terakhir. Itu sebabnya aku tak ingat apapun tentang kecelakaan itu. Aku hanya mengiyakan. Dalam sebulan terakhir, memang apa yang akan terjadi? Paling-paling tak ada yang penting. Itu pikirku sih…

Namaku Miyuri Suzuhara, tahun ini berusia 16 tahun, menduduki bangku kelas 2 di SMA puteri Sakuragaoka. Di sekolah, aku dikenal sebagai ujung tombak klub anggar, dan anggota OSIS. Kehidupanku normal-normal saja. Ayah bekerja sebagai pedagang yang usahanya cukup sukses, Ibuku hanya ibu rumah tangga biasa, lalu kakak perempuanku kini sukses menjadi fashion designer dan kakak lelakiku menjadi model terkenal.

Aku juga punya teman-teman yang baik dan perhatian. Ada Satoko Mizuhara, Mie Kurahashi dan Ayaka Suzuki. Satoko yang cantik dan lemah-lembut serta pintar memasak. Mie yang cantik dan dewasa, jagonya dandan dan berbelanja. Ayaka yang manis, riang dan kekanakkan.

Kalau soal percintaan, aku sama sekali buta. Berbeda dengan Satoko yang sudah ditunangkan oleh kedua orang tuanya, atau Mie yang sering gonta-ganti pacar.

Kurasa kehidupanku biasa-biasa saja. Dan membosankan. Meski banyak yang bilang, hidupku nyaris sempurna. Tapi menurutku… tidak.

Setelah melalui banyak pemeriksaan dan pemulihan, akhirnya aku diperbolehkan pulang ke rumah. Keluargaku sangat semangat dan senang mendengarnya. Aku pun langsung meminta agar diperbolehkan masuk sekolah esok harinya. Sebenarnya sekolah masih libur. Toh, ini masih liburan musim dingin. Tapi untuk anggota OSIS dan anggota klub, hampir tiap hari tetap datang ke sekolah untuk kegiatan-kegiatan. Awalnya orang tuaku menentang. Tapi karena kubilang aku sangat rindu teman-temanku, akhirnya mereka mengizinkan.

Aku mengerti kalau mereka khawatir, tapi nampaknya kekhawatiran mereka berlebihan, bukan begitu?

Dua hari kemudian, aku kembali ke sekolah. Sekolah ku jadi ramai dan heboh melihatku kembali. Mereka mengelilingiku dan kelihatan senang dan lega. Ayaka dan Mie langsung memelukku dan menangis. Satoko juga tersenyum lega. Aku senang bisa masuk sekolah lagi.

Di sekolah menyenangkan dan sibuk. Tapi aku menikmatinya. Daripada di rumah terus, disuruh tidur-makan tanpa ada kegiatan lain.

Hari itu semuanya terasa begitu cepat. Tahu-tahu sudah waktunya pulang. Saat ada rapat OSIS, aku malah disuruh pulang dan beristirahat. Mereka takut aku kenapa-kenapa. Tuh 'kan… kenapa sih semua orang khawatir berlebihan begitu?

Lalu Satoko mengajakku pulang bareng. Sementara Ayaka sibuk latihan klub basket, dan Mie juga masih sibuk di klub kecantikan. Aku menurut saja. Menurutku normal-normal saja ajakan pulang bareng. Tapi keterlaluan kalau mereka kira aku bakal terjatuh atau tertabrak lagi saat pulang sendirian.

Saat kami berdua melewati gerbang utama sekolah, kulihat seorang pemuda berwajah 'cantik' di seberang. Dia memperhatikan kami. Aku merasa agak risih. Tapi pandangan seperti itu sudah biasa. Terkadang ada cowok-cowok, bahkan om-om, yang suka memperhatikan sekolah kami dari jauh. Tapi tentu saja, hanya sekedar melihat. Sekolah kami keamanannya ketat, tak mungkin ada yang bisa masuk tanpa izin.

Satoko nampaknya juga menyadari cowok itu, dan dia jadi gelisah. Tumben sekali Satoko memikirkan hal-hal semacam itu, pikirku. Karena biasanya Satoko yang paling tenang dan cuek kalau ada yang memperhatikan kami.

"Mi-chan (panggilan dari Satoko dan Ayaka untukku), kita jalan lebih cepat yuk. Sepertinya 'dia' mengikuti kita deh!" pintanya sambil menggandeng lenganku.

"Eh? Baiklah. Sa-chan kenapa tiba-tiba panik begitu?" tanyaku sambil mempercepat langkahku, dengan lenganku dicengkeram Satoko.

"Hah? Eh, tidak apa-apa. Siapa yang panik? Hihi," Satoko memaksakan diri untuk tertawa kecil. Lalu kami sama-sama berjalan cepat. Tidak berlari, tapi berjalan, dan cepat. Sampai akhirnya kami mengecohnya di pertigaan jalan. Begitu kami menoleh, sepertinya dia sudah tidak ada. Satoko pun menghela napas lega. Ada apa dengan Satoko?

"Sa-chan kenal cowok tadi ya?" tanyaku langsung. Satoko tersentak. Dia tidak langsung menjawab.

"Tidak kenal," Jawabnya sambil tersenyum. "sudah yuk, sudah sore nih. Kalau sudah gelap nanti aku bisa dimarahi." Satoko menarik lenganku sebelum aku sempat bertanya lagi. Sepertinya dia tak mau membicarakan hal ini. Kalau itu mau Satoko, ya sudah lah…

Malam harinya, di rumahku…

"Miyuyuuuuuuuu!" kakak perempuanku tiba-tiba melompat dan memelukku dengan erat. Aku kaget tapi tidak sempat menghindar.

"Tsubaki-nee-chan? Apaan sih?" aku meronta-ronta. Tapi Kak Tsubaki tetap tidak melepas pelukannya. Sementara Kak Ran hanya tertawa-tawa. Kedua kakakku ini baru saja menyelesaikan proyek kerja bersama, makanya pulang bareng. Sementara Ibuku sibuk masak makan malam dan Ayah baca koran di ruang tengah, yang menghubungkan ruang makan dan dapur. Saat ini kami berada di ruang tengah.

"Kok malah ketawa? Sini bantuin!" gerutuku kesal. Kak Ran menjawab dengan tersenyum lebar. Membuatku semakin kesal saja. Lalu Kak Tsubaki melepas lengannya yang tadinya melingkar di leherku. Menatapku dengan pandangan seperti "anak anjing yang dibuang di pinggir jalan dan tersiram air hujan". Bukannya kasihan, aku malah ingin menonjoknya. Fuh…

"Kakak kangen sekali sama Miyuyu…" ujar Kak Tsubaki, dengan pose sok imut, nada sok imut, dan sikap amit-amit. "eh lihat, kakak beliin ini buat Miyuyu lhoo~" Kak Tsubaki segera meraih tas plastik besar berwarna putih, lalu mengeluarkan kotak besar dari situ. Apa itu? Ternyata itu…

"Lihaaat~ ini boneka Jenny Doll versi terbaru lhoo! Ada anjing kecilnya, terus terus dilengkapi sisirnya, terus kalau ini dipencet…" sebelum Kak Tsubaki selesai bicara, aku sudah mendaratkan kepalan tanganku di kepalanya.

"Memangnya kau pikir aku masih SD?" omelku kesal. "Ha… Habis~ kemarin Kakak lihat kau senyum-senyum sendiri melihat koleksi Mika Doll di ruang baca. Jadi… eh? jangan-jangan kau maunya Mika Doll ya? Maaf, Kakak salah beli ya? Habis tadi yang Mika Doll sudah habis, jadi…" sebelum kak Tsubaki selesai bicara, lagi-lagi aku mendaratkan jitakan di kepalanya. Lalu Kak Tsubaki meringkuk di pojokan. Sementara Kak Ran dan Ayah tertawa terbahak-bahak melihat kami berdua.

Suasana yang hangat. Berbeda sekali dari sebelumnya. Dulu di rumahku ini, semuanya terasa begitu asing dan jauh. Dingin. Ayah dan kakak-kakak sibuk dengan pekerjaan-pekerjaannya, Ibu juga suka pergi bermain dan berbelanja dengan teman-temannya. Kenapa sekarang tiba-tiba tercipta atmosfer begini?

"Sudah bercandanya? Ayo kita makan dulu! Hari ini Ibu buat makanan kesukaan Miyu lho!" panggil Ibu dengan nada riang. Lalu kami segera ke ruang makan. Benar saja kata Ibu, di atas meja makan tersedia berbagai makanan kesukaanku. Dan mereka terlihat mewah sekali!

"Ibu yang masak ini semua?" tanyaku takjub. "Ng… nggak sih, sebagian besar dibeli. Jadi Ibu tinggal menghangatkan saja." Jawab Ibuku dengan senyum watados (wajah tanpa dosa). Aku menghela napas panjang. Lalu tersenyum.

Malam itu terasa bagaikan mimpi. Menyenangkan sekali. Sangat!

Masih pada malam yang sama, kamarku…

Aku menghempaskan diri ke kasur dan menggeliat disitu. Lalu tertawa kecil sendirian. Makan malam yang menyenangkan. Sudah berapa lama aku tidak makan bersama-sama keluargaku seperti itu ya?

Tiba-tiba ponselku berdering. Aku mencari-cari dimana letak sumber suara itu, kemudian segera meraihnya begitu menemukannya dibawah bantal. Telepon? Dari… Yuujirou? Siapa?

"Halo?"

"Miyuri?"

"Ini siapa?"

"Ini Yuujirou!"

"Yuujirou siapa?"

"Candamu tidak lucu. Sama tidak lucunya dengan kau yang tadi sore menghindariku!"

"Hah? Ini siapa sih? Aku nggak kenal!"

"Miyuri? Ini aku, Yuujirou!"

"NGGAK KENAL!"

Begitu sadar, aku sudah memutus sambungan telepon. Siapa sih Yuujirou itu? Nggak kenal. Tapi kenapa juga bisa ada namanya di HP ku? Tadi sore? Tadi sore… cowok cantik yang mengikutiku dan Satoko? Ah sudahlah, bikin pusing saja!

Keesokan harinya…

"Hah? Cowok aneh yang menelponmu?" sepasang mata Kak Tsubaki yang sipit jadi lebih sipit. Aku mengangguk, lalu meneruskan menyantap sarapanku. Ayah yang tadinya asyik berceloteh ke Kak Ran langsung terdiam.

"Sepertinya berbahaya. Kau bilang dia juga mengikutimu kan kemarin? Lebih baik mulai sekarang kau diantar-jemput. Mau oleh kakak-kakakmu atau teman-temanmu?" tanya Ayah dengan nada berat. Aku menelan ludah. Apa-apaan? Kok serius sekali?

"Tidak apa-apa kok Ayah, nanti biar kuminta teman-temanku." Jawabku sambil tersenyum tipis. "Baiklah kalau begitu…" Ayah melanjutkan makan sarapannya. Sepertinya keluargaku khawatir sekali. Padahal aku tidak terlalu memusingkan. Mungkin memang bahaya, tapi yah… bagaimana ya? Suara cowok itu… aku seperti mengenalnya…

Perjalanan menuju sekolah, tepat sebelum aku sampai di depan gerbang sekolah, cowok itu muncul. Aku kaget sekali tiba-tiba dia muncul di depan wajahku. Ternyata dari jarak dekat, dia jauh lebih cantik. Aku jadi tidak percaya dia cowok. Lho? Kenapa juga aku bisa langsung mengenalinya sebagai cowok ya? Padahal waktu itu aku hanya melihatnya dari jauh. Hm…

"Kau…" aku masih kaget dan sibuk dengan pikiranku sendiri.

"Aku Yuujirou. Miyuri, kau benar-benar tidak mengingatku?" tanyanya dengan raut wajah khawatir. Aku menggeleng.

"Apa kita saling mengenal?" tanyaku. Yuujirou mengangguk, lalu tersenyum sedih. Aah… aku tidak ingin melihat wajahnya yang begitu. Ah? Kenapa aku peduli?

"Maaf ya, aku tidak ingat. Seminggu yang lalu aku mengalami kecelakaan. Lalu seperempat ingatanku hilang. Ingatan selama sebulan terakhir. Jadi maaf kalau aku tidak mengenalimu…" jelasku dengan suara pelan tapi jelas. Dia tampak kaget dan khawatir.

"Kecelakaan? Aku pernah dengar dari murid-murid sekolahmu. Tapi apa separah itu? Sampai kehilangan ingatan…" tanyanya, masih dengan raut wajah khawatir. Aku tersenyum, lalu menggeleng.

"Aku tidak apa-apa kok. Hanya ingatan sebulan terakhir yang hilang. Sepertinya kepalaku terbentur cukup keras, hehe." Yuujirou tidak menjawab. "Jadi? Kita ini kenalan sejak sebulan yang lalu ya?" tanyaku. Yuujirou tersentak.

"…Ya. Teman baik." Jawabnya, setelah jeda 1-2 menit, dan dijawab dengan senyuman yang sedih. Dia nampak cantik sekali.

"Benarkah? Maafkan aku…" ujarku menyesal. Benar-benar menyesal. Rasanya aku ikut sedih melihat senyumannya itu. Apa dulu hubungan kami sudah begitu dekat? Tapi kalau aku sampai membiarkan seorang cowok memanggilku dengan nama kecil, lalu menyimpan nomor HP ku, aku rasa kami memang dekat.

"Tenang saja. Kalau soal kenangan sih…" dia mengangkat wajah, lalu tersenyum tegar. Sangat berbeda dengan sebelumnya. "…bagaimana kalau dibuat lagi?" Aku tercengang sesaat. "Hah?" dia tertawa.

"Aku tidak akan memaksamu untuk mengingat, tapi aku akan memaksamu untuk membuat kenangan itu lagi! Kenalkan, namaku Yuujirou Shihoudani. Murid kelas 2 di SMA putera Fujimori. Salam kenal, Miyuri Suzuhara." Dia mengulurkan tangannya padaku. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Awalnya kukira dia adalah laki-laki yang memiliki kecantikan bak dewi. Tapi ternyata, dia memang laki-laki. Terlihat dari senyuman dan sorot matanya. Aku menyambut uluran tangannya dan tersenyum,

"Salam kenal juga, Yuujirou Shihoudani.

Next to chapter 2

0 comments:

Posting Komentar